Selamat Datang Kawan dan Terima Kasih atas Kunjungannya

Rabu, 19 Februari 2020

Resensi: Aggie dan Secangkir Kopi


Aggie dan Secangkir Kopi
Dua tahun lalu aku bertemu dengannya, saat itu adalah hari pertama aku bekerja di perusahaan ini. Letak kubikel kami saling berhadapan, pembatas kubikel di kantor ini hanya beberapa inci tingginya dari meja, sehingga kau dapat melihat dan berbicara dengan tetangga kubikel dengan leluasa. Senyum manislah yang pertama kali menyambutku.
Suatu sore aku membuat secangkir kopi untuk menghilangkan kejenuhan terhadap pekerjaan yang sedang kukerjakan dan membawanya ke meja.  “ aku selalu menyukai wangi kopi,” kata Aggie sambil sedikit melamun.
Mimpinya adalah memiliki kedai kopi, sedangkan mimpiku adalah selalu bersamanya. Mungkin menjalankan kedai kopi itu bersama-sama bukanlah ide buruk, aku akan selalu punya alasan untuk mendampinginya. Menurutku impiannya dalam hiduplah yang telah membuatnya begitu “hidup” dan optimis, tanpa sadar energy itu juga mengalir dalam diriku.



Malam itu adalah malam terbaikku sejak aku bertemu Aggie, selama berjam-jam kami mengobrol dan saling bertukar cerita. Tidak sekalipun pembicaraan malam itu menyinggung soal kondisinya, aku tidak mengijinkan hal itu terjadi. Aku ingin menjadikan malam itu, malam yang istimewa penuh dengan kenangan indah. Aku ingin merekam suara tawanya, wajah cerianya, mengingat semua cerita seru yang ia katakana dan menjadikannya satu album kenangan dalam hatiku.
Keesokan harinya aku mendapati kubikelnya kosong, aku menunggu hingga beberapa menit jam masuk kantor dimulai, kubikelnya itu tetap kosong. Dengan gelisah aku mengirimkan pesan singkat kepada Aggie. Aku memandangi layar ponselku selama berjam-jam, berharap sebuah pesan muncul darinya. Menjelang sore doaku terkabul. Sebuah pesan muncul di ponselku.
“ Hai James.”
“Aggie, apa kamu baik-baik saja? Aku sungguh Khawatir.”
“Aku di rumah sakit.”
“ Rumah sakit mana? Apa yang terjadi?”
“ James aku takut.”
“ Jangan begitu. Rumah sakit mana? Aku akan ke sana, menemanimu. OKe? Jangan takut.”
“ Aku sekarat, James. Aku terkena Kanker, Stadium 3.”
“Tolong katakana kamu di rumah sakit mana, Aggie? Please, bertahanlah dan tetap hidup untukku. Kita akan membangun kedai kopi bersama, ingatkan? Jadi bertahanlah, tolonglah tetaplah hidup.”
“ Terima kasih untuk semalam, itu akan menjadi kenangan terakhir yang sangat indah untukku. I Love you, James.
Hatiku mencolos membaca pesannya yang terakhir. Aku berhenti mengetik, mengatur napas dan kembali mengetik, namun tidak ada pesan balasan. Aku terus menatap layar ponsel. Aku duduk gelisah, aku harus pergi entah ke mana. Daripada gelisah seperti ini, lebih baik aku pergi, bergerak akan lebih meredakan syarafku yang tegang.
“ James?”
“ Aggie, kamu bertahanlah.”
“ ini ibunya Aggie, dia sudah beristirahat sekarang. Dia sudah tidak lagi berjuang. Aku sudah kehilangan dirinya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar