Aggie dan Secangkir Kopi |
Suatu sore aku
membuat secangkir kopi untuk menghilangkan kejenuhan terhadap pekerjaan yang
sedang kukerjakan dan membawanya ke meja.
“ aku selalu menyukai wangi kopi,” kata Aggie sambil sedikit melamun.
Mimpinya adalah
memiliki kedai kopi, sedangkan mimpiku adalah selalu bersamanya. Mungkin
menjalankan kedai kopi itu bersama-sama bukanlah ide buruk, aku akan selalu
punya alasan untuk mendampinginya. Menurutku impiannya dalam hiduplah yang
telah membuatnya begitu “hidup” dan optimis, tanpa sadar energy itu juga
mengalir dalam diriku.
Malam itu adalah
malam terbaikku sejak aku bertemu Aggie, selama berjam-jam kami mengobrol dan
saling bertukar cerita. Tidak sekalipun pembicaraan malam itu menyinggung soal
kondisinya, aku tidak mengijinkan hal itu terjadi. Aku ingin menjadikan malam
itu, malam yang istimewa penuh dengan kenangan indah. Aku ingin merekam suara
tawanya, wajah cerianya, mengingat semua cerita seru yang ia katakana dan
menjadikannya satu album kenangan dalam hatiku.
Keesokan harinya
aku mendapati kubikelnya kosong, aku menunggu hingga beberapa menit jam masuk
kantor dimulai, kubikelnya itu tetap kosong. Dengan gelisah aku mengirimkan
pesan singkat kepada Aggie. Aku memandangi layar ponselku selama berjam-jam,
berharap sebuah pesan muncul darinya. Menjelang sore doaku terkabul. Sebuah
pesan muncul di ponselku.
“ Hai James.”
“Aggie, apa kamu baik-baik saja? Aku
sungguh Khawatir.”
“Aku di rumah sakit.”
“ Rumah sakit mana? Apa yang terjadi?”
“ James aku takut.”
“ Jangan begitu. Rumah sakit mana? Aku
akan ke sana, menemanimu. OKe? Jangan takut.”
“ Aku sekarat, James. Aku terkena
Kanker, Stadium 3.”
“Tolong katakana kamu di rumah sakit
mana, Aggie? Please, bertahanlah dan tetap hidup untukku. Kita akan membangun
kedai kopi bersama, ingatkan? Jadi bertahanlah, tolonglah tetaplah hidup.”
“ Terima kasih untuk semalam, itu akan
menjadi kenangan terakhir yang sangat indah untukku. I Love you, James.
Hatiku mencolos
membaca pesannya yang terakhir. Aku berhenti mengetik, mengatur napas dan
kembali mengetik, namun tidak ada pesan balasan. Aku terus menatap layar
ponsel. Aku duduk gelisah, aku harus pergi entah ke mana. Daripada gelisah
seperti ini, lebih baik aku pergi, bergerak akan lebih meredakan syarafku yang
tegang.
“ James?”
“ Aggie, kamu bertahanlah.”
“ ini ibunya Aggie, dia sudah
beristirahat sekarang. Dia sudah tidak lagi berjuang. Aku sudah kehilangan
dirinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar